Oleh : Ust. Ahmad Hanafi, Lc (Mahasiswa Pascasarjana, King Saud University, Riyadh KSA)
Siapa yang tidak kenal Fir’aun?, sosok
manusia yang namanya diabadikan oleh Allah berkali-kali dalam
al-Qur’an melebihi penyebutan nama dan kisah sebagian dari pada Nabi
dan Rasul-Nya.
Bukan karena prestasi ketaatan dan ketundukan, tapi
karena sederet kisah kesombongan, keangkuhan, kebengisan dan hal-hal
keji yang lain yang sulit untuk dirangkai dengan kata-kata sederhana.
Dengan segala kesombongan ia memproklamirkan dirinya adalah tuhan yang patut disembah, seraya menafikan Rab Yang Maha Mulia. “Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain aku” (al-Qashash: 38) . Sebagai penguasa, ia mengklaim bahwa Mesir dan seluruh kekayaannya berada dan tunduk dalam kekuasaanya. “Dan
Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai kaumku, bukankah
kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir
di bawahku, maka apakah kalian tidak melihatnya?” (al-Zukhruf: 51).
Bahkan dengan segala kekuatan yang
dimilikinya, diktator nomor wahid ini melarang seseorang untuk berpaling
darinya dan beriman kepada Allah Yang Haq kecuali dengan izinnya yang
disertai dengan ancaman-ancaman yang menakutkan. “Berkata Fir’aun:
“Apakah kalian telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin
kepada kalian…… Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki
kalian dengan bersilang secara bertimbal balik dan aku akan menyalib
kalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kalian akan mengetahui
siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksaanya” (Thaha: 71). Di
ayat yang lain, “Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah selain
aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang
dipenjarakan” (al-Syu’araa: 29).
Lebih dari itu, terkadang dengan santainya ia melecehkan uluhiyah dan rububiyah al-Khaliq Yang Maha Tinggi dan Agung. “Dan
berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, bangunkanlah untukku sebuah bangunan
yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu. (Yaitu) pintu-pintu
langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sungguh aku menyangka ia
adalah seorang pendusta” (al-Mu’min: 36-37). Tentu Fir’aun tidak
sedang serius ketika mengucapkan kalimat ini, karena Haman (sang mentri)
pasti tidak mampu mengerjakan proyek bualan ini, tetapi ia ingin
melecehkan Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Agung.Na’udzu billah min dzalik.
Kalau kapada Allah Ta’ala saja dengan mudahnya ia lecehkan, maka apalagi hanya dengan utusan-Nya (Musa ‘Alaihissalam). “Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak mampu menjelaskan (perkataannya)” (al-Zukhruf:
52). Bahkan, terkadang ia menampakkan rasa iba dan simpati kepada
rakyatnya untuk mencari pembenaran untuk menghukum bahkan membunuh Musa
‘Alaihissalam yang dianggapnya sebagai pembangkang dan penghalang
kekuasaannya. “Dan berkata Fir’aun: “Biarkanlah aku membunuh Musa dan
hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir
dia akan menukar agama kalian dan menimbulkan kerusakan di muka bumi” (al-Mu’min: 26).
Inilah secuil dari deretan kisah
kedurhakaan Fir’aun yang berulang-ulang disebutkan di dalam berbagai
surah dalam al-Qur’an. Maka sangatlah amat wajar jika segala umpatan dan
cacian kasar dialamatkan kepadanya.
Tetapi manhaj Ilahi tetaplah manhaj yang
tetap kekal dan segar tanpa harus mengalami pergeseran makna. Manhaj
yang mengajarkan kepada kita keluhuran budi pekerti, sopan santun dalam
berbuat, berprilaku dan berkata-kata. Manhaj ini bukanlah sekedar
untaian kata-kata indah, bukan teori yang muluk-muluk, melainkan manhaj
yang harus diterjemahkan secara nyata dalam lapangan kehidupan. Ia harus
menjadi warna yang cerah di tengah warna-warni yang kelam. Ia
adalah manhaj yang sangat berpihak dan paling memahami fitrah
kemanusiaan di tengah-tengah carut marutnya qanun wadh’iy(aturan manusia) yang konon katanya paling faham arti hak asasi manusia dengan segala embel-embelnya.
Tetapi, dengan segala keburukan track record yang
dimiliki oleh Fir’aun, Allah mengutus kepadanya Nabi Musa dan Harun
‘Alaihimassalam untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan penuh
kesantunan, kearifan dan kelembutan tanpa harus mengikismabda’ (prinsip dasar) yang diyakini kebenarannya. Allah Ta’ala berfirman : “Pergilah
kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.
Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (Thaha: 43-44). Dalam ayat yang lain, “Pergilah
kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Dan
katakanlah : “Adakah keinginan pada dirimu untuk membersihkan diri (dari
kesesatan)” (al-Nazi’at: 17-18).
Inilah manhaj al-Rifq,
manhaj yang mengajarkan kepada kita bersikap santun dalam berbuat dan
berkata-kata. Bersikap santun dengan mengedepankan akhlaq mulia.
Bersikap santun dalam mencarikan solusi yang terbaik dan termudah.
Bersikap santun dalam memahami tabiat dan karakter orang lain. Begitulah
ruang lingkup makna al-rifq seperti yang dikemukakan penulis kamus Mukhtar al-Shihah.
Dalam sirah Sang Panutan
Shallallahu’alaihi wasallam, betapa terasa manhaj ini hadir dan terus
mengalir dalam berbagai kondisi dan obyek dakwah. Betapa tidak, beliau
menjadi penengah yang bijak takkala seorang arab badui (yang memang
bertabiat kasar) kencing di salah satu pojok mesjid tanpa merasa
bersalah. Beliau menjadi guru yang sangat santun ketika mengajarkan
sahabat Muawiyah ibn Hakam yang terjatuh dalam kesalahan –yaitu
berbicara- ketika sholat telah dilakukan. Bahkan, kepada pemuda yang
datang meminta izin kepadanya untuk berzina, Beliau manjadi pendengar
yang baik dan santun sekaligus memberikan solusi logis yang tak
terbantahkan. Bahkan suatu ketika, beliau menceritakan kisah seorang
wanita yang diazab oleh Allah karena menyiksa dan tidak bersikap
santun kepada seekor kucing.
Sunguh tepat kalau Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Hendaklah
engkau bersikap lembut dan hindarilah bersikap keras dan kasar, karena
tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan menambah indah
sesuatu itu, dan tidaklah (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu kecuali
akan menambah jelek sesuatu itu” (HR. Muslim). Dalam sabdanya yang lain Beliau berkata: “Barang siapa yang tidak memiliki kelembutan maka ia diharamkan dari seluruh kebaikan” (HR. Muslim). Teori dan aplikasi kesantunan yang luar biasa yang wajib dicontoh oleh setiap muslim.
Dalam dunia dakwah, betapa setiap da’i sangat membutuhkan kehadiran al-rifq dalam
menyampaikan pesan-pesan dakwah. Ia membutuhkannya ketika ia berhadapan
dengan orang tua, muda bahkan kepada anak kecil, kepada pendosa
apalagi kalau memang sudah taat, hatta kepada siapapun, karena
manusia tetaplah manusia, sebejat apapun ia masih memiliki perasaan yang
bertemu dalam satu titik, semua ingin diperlakukan secara santun, bukan
dengan sikap kasar apalagi sampai mencaci dan mengumpat.
Kiranya, wejangan Sufyan al-Tsauri Rahimahullah
patut untuk dijadikan pijakan, beliau berkata: “Seseorang tidak pantas
untuk beramar ma’ruf nahi munkar kecuali jika telah memenuhi tiga
karakteristik, bersikap lembut terhadap apa yang ia serukan dan ia
larang, bersikap adil terhadap yang ia serukan dan ia larang dan berilmu
terhadap yang ia serukan dan ia larang”. Allah Ta’ala berfirman: “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka”(al-Imran: 159). Wallahu a’alam.
Sumber: http://www.belajarislam.com
0 komentar:
Posting Komentar